SAWANG SINAWANG

Oleh: Sastro Sukamiskin(Mahasiwa S3 Pasacasarjana UPI Bandung)

Setiap masyarakat menciptakan dan mengembangkan kebudayaan sebagai sinar yang memandu kehidupan, sesuai dengan lingkungan sosial dan fisik di wilayahnya. Dalam perjalanan waktu, generasi baru muncul dan dibentuk oleh kebudayaan itu agar mewarisi dan mengembangkan sinar kehidupan itu menjadi lebih terang. Meskipun demikian, tidak jarang generasi baru menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan tekanan, sehingga kurang berhasil mengembangkannya. Salah satu hambatan yang paling kuat adalah adanya kebudayaan lain yang tidak toleran dan bahkan melakukan penjajahan budaya. Akibatnya, generasi baru tidak hanya gagal mengembangkan, tetapi juga mengambil sinar kebudayaan lain untuk memandu kehidupannya. Disinilah titik awal munculnya kebudayaan hibrid atau campuran.
Pengambilan kebudayaan lain sebagai sinar, seiring dengan pergantian generasi tanpa disadari jumlahnya semakin banyak. Pada generasi tertentu, sebagian besar hidup masyarakat berada dalam terang sinar kebudayaan lain. Dengan kata lain, sebagian besar kebudayaan nenek moyangnya tidak lagi menjadi sinar penerang kehidupan dan hilang, sisanya menjadi fosil yang dipajang di museum.

Apa ruginya meninggalkan kebudayaan nenek moyang sendiri dan menggunakan kebudayaan asing? Tidak ada, selama masyarakat mampu menjadikan nenek moyang asing sebagai nenek moyangnya. Bahkan mungkin akan banyak keuntungannya, selama masyarakat mengambil jiwa kebudayaan asing sebagai jiwanya. Akan tetapi ketika jiwanya menggunakan kebudayaan asli dan kehidupan sehari-hari menggunakan kebudayaan asing, maka masyarakat akan menjadi bingung dan bahkan linglung. Banyak perilaku yang tidak sesuai dengan hati nurani terjadi di depan mata, tanpa dapat dicegah. Puncaknya adalah krisis sebagai bentuk berubahnya sinar

Dalam kondisi seperti itu, tak ada buah kehidupan yang manis dan bermakna dapat dinikmati. Tertib kehidupan menjadi hilang, karena tidak ada lagi etika yang dijunjung bersama. Tragedi dari pucuk pimpinan nasional sampai pangkal bawahan lokal menjadi menu harian yang suka tidak suka, mau tidak mau harus ditelan.

Solusi yang mungkin ditempuh adalah menemukan kembali warisan masa lampau yang masih sesuai dengan peri kehidupan sekarang. Tentu tidak akan semudah orang Eropa me-reaissance keeropaannya atau orang Jepang saat melakukan kokugaku. Meski sulit dan harus menempuh jarak yang sangat jauh, perjalanan pulang tampaknya harus dilakukan. Meski harus mandi keringat dan berkubang lumpur, penggalian sari kehidupan nenek moyang harus diselesaikan.

Salah satu warisan yang perlu dijernihkan adalah sawang sinawang. Pepatah jawa ini sengaja sebagai awalan, karena memiliki makna yang sangat dalam. Paling tidak ada tiga point penting yang terkandung dalam pepatah itu, yaitu sawang, sinawang dan sawang sinawang. Padanan dalam bahasa Indonesia untuk kata kerja sawang adalah memandang, menyimak atau memperhatikan. Di sisi lain, sinawang terdiri dari kata dasar sawang dan imbuhan in. Pemberian imbuhan dalam konteks ini berfungsi untuk mempasifkan kata kerja, sehingga sinawang dapat diartikan sebagai dipandang, disimak atau diperhatikan.

Kedudukan sawang sebagai kata dasar kerja menunjukkan bahwa memandang merupakan kegiatan yang dilakukan oleh subyek terhadap suatu obyek. Apabila dilekatkan pada subyek, kata dasar sawang akan mengalami peluluhan menjadi nyawang, seperti pada kalimat Kliwon lagi nyawang omahe sing miring amarga kena gempa. Aktivitas memandang bukan semata-mata dilakukan oleh panca indera mata. Memandang melibatkan seluruh kemampuan aspek kemanusiaan subyek, baik mata, akal maupun budi. Melalui proses memandang, subyek mengolah informasi yang diterima melalui mata dengan jalan membandingkan terhadap pengalamannya sebagai individu maupun pengetahuan yang dimilikinya dari berbagai pihak. Ketika memandang rumahnya yang miring, dalam benak Kliwon terdapat ingatan tentang gambaran rumah itu sebelum terjadi gempa. Dengan kata lain, dalam aktivitas memandang terdapat dialog antara masa lampau (pengalaman dan pengetahuan) dengan masa kini (obyek pandangan).

Dialog masa lampau dengan masa kini dalam proses sawang melahirkan dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang obyek dan pengetahuan tentang subyek. Pengetahuan tentang obyek berupa gambaran detail kondisi yang tampak kasat mata, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada kasus Kliwon dan rumahnya, pengetahuan obyek kuantitatif berupa jumlah kerusakan beserta letaknya, sedang pengetahuan kualitatif berupa tingkat kerusakan seperti parah, sedang dan ringan.
Selain pengetahuan tentang obyek, proses sawang juga melahirkan pemahaman tentang diri sendiri sebagai subyek. Pemahaman terutama berupa kesadaran baru dalam diri subyek tentang posisinya saat itu. Ketika melakukan proses sawang, subyek memperhitungkan ikatan atau relasinya dengan obyek. Apabila obyek merupakan bagian dari subyek, baik ikatan darah maupun kepemilikan, maka subyek akan memaknai kondisi obyek sebagai cerminan dari kondisi subyek. Oleh karena itu, hasil sawang tersebut tersimbolkan dalam bentuk kata-kata yang menggambarkan kondisi kehidupan subyek, seperti menderita, mujur, begja, prihatin, sengsara dan sebagainya.

Apabila obyek sawang bukan bagian dari subyek, tetapi memiliki ikatan yang erat, seperti kerabat atau tetangga, subyek akan berusaha memahami kondisi atau posisi obyek dengan melibatkan seluruh aspek kehidupannya. Keterlibatan subyek pada obyek termanifestasi pada penghayatan terhadap kondisi obyek, sehingga melahirkan ungkapan “nderek”. Dari sudut pandang ini, ungkapan seperti nderek mangayubagya, nderek bingah, nderek belasungkawa, menjadi bentuk usaha subyek mentransfer kondisi obyek sebagai kondisinya sendiri. Pada sistem sosial Jawa, berbagai nilai dan norma terbangun dengan kerangka seperti itu, antara lain kekerabatan, gotong royong, dan tulung tinulung.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sawang menjadi kunci bagi masyarakat Jawa untuk memahami obyek sekaligus melahirkan kesadaran baru tentang subyek. Dengan kata lain, masyarakat Jawa menempatkan sawang menjadi laku bagi lahirnya pengetahuan tentang dunia sebagai obyek dan kesadaran baru dalam diri manusia sebagai subyek yang mendunia.

Berbagai pengetahuan dihasilkan oleh manusia Jawa melalui proses memandang yang dilakukannya, baik berupa filsafat kehidupan maupun keterampilan praktis. Apabila dikelompokkan, jumlah karya pengetahuan Jawa lebih banyak pada bidang filsafat kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia Jawa cenderung menyarikan dinamika kehidupan untuk memperoleh hakekat, dari pada mengembangkan keterampilan praktis. Memahami hakekat dipandang lebih penting untuk menjalani kehidupan masa kini dan masa mendatang. Hal ini berdampak pada pendokumentasian pergumulan pemikiran tentang nilai dan norma jauh lebih baik dari pada pendokumentasian pengetahuan praktis.

Selain sebagai subyek, manusia Jawa juga menyadari bahwa dirinya menjadi obyek pandangan bagi sesama. Bahkan kesadaran akan kedudukan sebagai obyek ini ditempatkan menjadi perhatian utama dalam kebudayaan Jawa. Kesadaran tersebut mendorong lahirnya nilai dan norma yang berinti pada pengendalian diri atau self control. Berbagai ungkapan, seperti empan papan (memposisikan diri sesuai situasi dan kondisi) dan unggah ungguh (sopan santun atau tata krama) mencerminkan bahwa kemampuan membawakan diri merupakan keterampilan hidup yang sangat penting.

Makna lain dari sawang sinawang adalah bahwa realitas berbeda hakekat dengan pengetahuan/kebenaran yang dihasilkan dari kegiatan memandang. Maksudnya ketika subyek memproduksi pengetahuan tentang suatu obyek, kebenarannya sangat kecil apabila dibandingkan dengan kebenaran yang dimiliki oleh obyek. Sebagai contoh, ketika A memandang B sekarang telah sukses dan hidup berkecukupan, makna sukses dan berkecukupan yang dipahami A akan jauh berbeda dengan sukses dan berkecukupan yang dirasakan oleh B. Kesadaran akan perbedaan tersebut menjadikan manusia Jawa memahami bahwa kebenaran bersifat subyektif dan relatif, yaitu tergantung pada siapa, dimana dan kapan.

Subyektivitas dan relativitas kebenaran, menjadikan manusia Jawa mengembangkan tata nilai dan norma yang berinti pada penghormatan terhadap pendapat atau kebenaran orang lain. Ungkapan desa mawa cara, negara mawa tata memanifestasikan pemahaman bahwa setiap desa memiliki tradisi yang berbeda dan setiap negara memiliki hukum yang berbeda. Perbedaan tersebut dipandang sebagai realitas yang menggembirakan dan patut dirayakan, karena pada hakekatnya dunia ini terbangun dari berbagai perbedaan yang saling melengkapi.

Apakah pemikiran nenek moyang tentang sawang sinawang yang telah berusia ribuan tahun ini mampu melampaui pemikiran kaum modernis bahkan postmodernis?


Salam
Sastro Sukamiskin

IBN RUSYD: PEMIKIRAN DAN PENGARUHNYA DI BARAT

A. Pendahuluan
Dalam sejarah filsafat dikenal adanya istilah borrowing yaitu saling meminjam filsafat satu dengan yang lain. Hal ini terjadi pada filsafat Islam dan Barat, kontak terjadi bersifat dua arah. Pada zaman keemasan Islam, filsafat Barat masuk ke Dunia Islam dengan gerakan penerjemahan karya-karya filosof-filosof Yunani Klasik ke dalam bahasa Arab.
Keinginan umat Islam mempelajari filsafat Barat tersebut sejalan dengan semakin meluasnya kekuasaan Islam dan meningkatnya interaksi Umat Islam dengan bangsa-bangsa lain terutama Yunani dan Romawi. Orang-orang Persia memegang peranan penting dalam proses pengaruh bagi gerakan transmisi filsafat Yunani ke Dunia Islam, karena mereka yang terlebih dahulu berkenalan dengan peradaban dan filsafat Yunani, sehingga melalui orang-orang Persia ini bangsa Arab muslim mulai mempelajari filsafat Yunani (Nur Ahmad dalam Iqbal, 2004: xiv). Dalam hal ini umat Islam berjasa membangkitkankembali warisan intelektual Yunani Kuno yang beberapa abad lamanya tidak terjamah.
Minat mendalam terhadap filsafat Yunani diperlihatkan oleh Khalifah al-Mansur (754-775 M) yang memerintahkan penerjemahan terhadapa karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani. Puncaknya terjadi pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (813-833 m). Bahkan al-Makmun mendirikan lembaga bernama Bayt al-Hikmah pada tahun 832 M sebagai wadah bagi gerakan penerjemahan karya-karya Yunani (Nur Ahmad dalam Iqbal, 2004: xiv).
Pada perkembangan selanjutnya, umat Islam tidak hanya sekedar menerjemahkan karya-karya Yunani Kuno tersebut, tetapi juga mengembangkan filsafat sendiri. Lahirlah tokoh-tokoh filosof muslim besar seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali dan Ibn rusyd. Tokoh-tokoh tersebut tidak hanya mewakili satu aliran pemikiran, tetapi beraneka ragam aliran, variasi pemikiran yang tumbuh dan berkembang di pusat-pusat pemikiran Islam.
Perkembangan pemikiran ini kemudian diadopsi dan dibawa ke Barat pada abad-abad pertengahan. Barat yang selama beberapa abad mengalami stagnasi mulai melirik filsafat Islam dan mempelajarinya. Mereka membawa dan mengembangkan aliran-alairan dalam filsafat Islam yang beraneka ragam tersebut. Pemikiran al-Ghazali lebih banyak mempengaruhi pemikiran Thomas Aquinas dan Imanuel Kant. Pemikiran Ibn Sina banyak mempengaruhi Bernard van Trillia dan Aegedius van lesson. Sedangkan pemikiran Ibn Rusyd berkembang menjadi suatu gerakan Averroisme yang pengaruhnya ke Barat lebih besar dibandingkan filosof-filosof musiim lainnya. Ibn Rusyd-lah merupakan tokoh yang paling populer dan dianggap paling berjasa dalam membuka mata peradaban Barat (Iqbal, 2004: 4). Oleh karena itu mengkaji dan mempelajari perjalanan hidup dan pemikiran filosof yang disebutkan terkahir ini sangat menarik
Tanpa mengabaikan peran penting tokoh filosof muslim yang lain, makalah ini akan mengulas secara singkat perjalanan hidup dan pemikiran Ibn Rusyd yang sangat luas. Pembahasan makalah ini dipokuskan pada: (1) riwayat hidup Ibn Rusyd, (2) karya Ibn Rusyd, dan (3) pengaruh pemikiran Ibn Rusyd di Barat.

B. Riwayat Hidup, Pemikiran Ibn Rusyd dan Pengaruhnya di Barat

1. Riwayat Hidup Singkat Ibn Rusyd
Ibn Rusyd atau nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, berasal dari keturunan Arab kelahiran Andalusia. Ibn Rusyd lahir di Andalusia (Spanyol) tepatmya di kota Kordoba tahun 526H/1198 M. Ia lahir dan dibesarkan dalam keluarga ahli fiqh, ayahnya Ahmad atau Abu Al Qasim seorang hakim di Kordoba demikian juga kakeknya sangat terkenal sebagai ahli fiqh. Dengan demikian ia lahir dari keluarga terhormat alim dan taat dalam beragama Islam, kakek dan ayahnya penganut mazhab Maliki.
Lingkungan yang sangat kondusif itulah yang membuat Ibn Rusyd kecil haus ilmu pengetahuan, ia tumbuh menjadi anak yang memiliki kejeniusan luar biasa. Pada usia anak-anak saat itu, Ibn Rusyd sudah mempelajari berbagai disiplin ilmu, seperti Al-QurĂ¡n, hadits, fiqih, serta mendalami ilmu-ilmu eksak seperti matematika, astronomi, logika, filsafat dan kedokteran. Setelah menginjak remaja, ia terdorong keluar dari lingkar keluarga dalam menuntut ilmu. Ibn Rusyd mendatangi para fuqaha yang menonjol di kawasan Andalusia kala itu untuk berguru dan meniimba ilmu. Diantara para fuqaha itu antara lain Abu Al Aim Basykawal, Abu Marwan bin Masarrah, Abu Bakar bin Samhun, Abu Ja'far bin Abdul Aziz, Abdullah Al Maziri, dan Abu Muhammad bin Rizq. Karena itulah, ketika Ibn Rusyd tumbuh dewasa, ia terkenal dengan ilmuwan yang ahli dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Dalam bidang kedokteran, Ibn Rusyd belajar pada Abu Ja'far Harun At Tirjali dan Abu Marwan bin Kharbul. Dalam biddang filsafat, ia belajar pada Ibnu Bajjah, yang di barat dikenal dengan Avinpace, filosof besar di Eropa sebelum Ibn Rusyd. Selain itu, ia juga berhubungan dengan dokter Abu Marwan bin Zuhr dan raja Dinasti Muwahhidun. Selain menjalin perhubungan yang akrab dengan Ibnu Zuhr, Ibn Rusyd juga mempunyai hubungan yang baik dengan kerajaan Islam Muwahidin terutama dengan amir ketiga khalifah Abu Yusuf Al-Mansyur. Hubungan dan kepercayaan tersebut, akhirnya Ibn Rusyd dilantik sebagai hakim di Sevilla pada tahun 1169. Dua tahun kemudian, beliau dilantik menjadi hakim di Cordova, kemudian dilantik sebagai dokter istana pada tahun 1182 M.
Namun sayang, karena ajaran filsafatnya banyak ulama yang tidak menyukainya, bahkan ada yang sampai mengkafirkan Ibn Rusyd. Ada juga sekelompok ulama yang berusaha untuk menyingkirkan dan memfitnah bahwa dia telah menyebarkan ajaran filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. Atas tuduhan itulah, Ibn Rusyd diasingkan oleh pemerintah ke suatu tempat bernama Lucena. Tidak hanya itu, banyak diantara karya-karya filsafatnya dibakar dan diharamkan untuk dipelajari.
Setelah beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan khalifah Al-Mansur tentang kebersihan dari Ibn Rusyd dari fitnah dan tuduhan tersebut, maka ia baru dibebaskan. Akan tetapi tidak lama kemudian fitnah dan tuduhan seperti semula kembali terulang. Sebagai akibatnya, pada kali ini Ibn Rusyd diasingkan ke Negeri Maghribi (Maroko). Disanalah kemudian Ibn Rusyd menghabiskan sisa-sisa umurnya hingga datang ajal menjemputnya pada tangga 19 Shafar 595 H/10 Desember 1198 M, ia wafat dengan meninggalkan banyak warisan keilmuan yang dikenal Barat dan Timur. Kematiannya menjadikan kehilangan yang cukup besar bagi kerajaan dan umat Islam di Sepanyol. Beliau tidak meninggalkan sebarang harta benda melainkan ilmu dan tulisan dalam pelbagai bidang seperti falsafah, kedokteran, ilmu kalam, falak, fiqh, muzik, kaji bintang, tatabahasa, dan nahwu.
Semasa hidupnya, Ibn Rusyd seorang yang suka hidup sederhana dan bersahaja tanpa memperdulikan tentang pakaian, harta benda. Walaupun begitu sifatnya sangat pemurah sekalipun kepada orang-orang yang pernah memusuhi atau menghina dirinya. Demikian satu dari ciri-ciri kebaikannya, juga terkenal seorang yang sangat rendah hati terutama kepada orang-orang yang miskin.
Kehidupannya sebagian besar digunakan untuk menjalani tugas sebagai hakim dan dokter, tapi di barat ia dikenal sebagai filosof yang banyak mengkaji dan mengomentari pemikiran Aristoteles. Ibn Rusyd termasuk seorang jenius, banyak menghasilkan karya tulis dalam berbagai bidang. Ia ahli hukum Islam, filsafat, menguasai ilmu kedokteran, kalam, bahasa, fisika, dan astronomi. Menurut Ibrahim Madkur (Ibn%20Rusyd/ibnu-rusyd-dan-averroisme.htm), Ibn Rusyd adalah filosof muslim besar periode terakhir dalam dunia filsafat Islam.

2. Karya Ibn Rusyd
Kebesaran dan kejeniusan Ibn Rusyd bisa dilihat pada karya-karyanya. Dalam berbagai karyanya ia selalu membagi pembahasannya ke dalam tiga bentuk, yaitu komentar, kritik, dan pendapat. Ia adalah seorang komentator sekaligus kritikus ulung. Ulasannya terhadap karya-karya filsuf besar terdahulu banyak sekali, antara lain ulasannya terhadap karya-karya Aristoteles. Dalam ulasannya itu ia tidak semata-mata memberi komentar (anotasi) terhadap filsafat Aristoteles, tetapi juga menambahkan pandangan-pandangan filosofisnya sendiri, suatu hal yang belum pernah dilakukan oleh filsuf semasa maupun sebelumnya.
Kritik dan komentarnya itulah yang mengantarkannya menjadi terkenal di Eropa. Ulasan-ulasannya terhadap filsafat Aristoteles berpengaruh besar pada kalangan ilmuwan Eropa sehingga muncul di sana suatu aliran yang dinisbatkan kepada namanya, Avereroisme. Selain itu, ia juga banyak mengomentari karya-karya filsuf muslim pendahulunya, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, dan al-Ghazali. Komentar-komentarnya itu banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani.
Para ahli sejarah berbeda pendapat akan jumlah buku-buku hasil karyanya. Ermest Renan (1823-1892), seorang filosof Perancis mengatakan bahwa Ibn Rusyd menulis sekitar 78 judul buku dalam berbagai bidang ilmu, denan rincian 39 judul tentang filsafat, lima tentang ilmu alam, delapan tentang fikih, empat tentang ilmu falak, matematika dan astronomi, dua tentang nahwu dan sastra dan 20 judul tentang kedokteran. Disebutkan karya-karya tersebut banyak yang raib dan tidak sampai ke tangan kita.
Raibnya karya-karya Ibn Rusyd tersebut terjadi ketika Ibn Rusyd mengalami fitnah dan pengasingan, pada saat itu karyanya banyak yang dibakar atas perintah Khalifah. Selain itu, dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi politik, kehidupan Ibn Rusyd tidak terpaut jauh dengan waktu jatuhnya pemerintahan Islam di Spanyol, sejak abad ke-11 hingga 1492 satu pesatu kota-kota Islam jatuh ke tangan orang-orang Kristen.
Peyusunan secara kronologis karya-karya Ibn Rusyd pertama kali dilakukan oleh M. Alonso dalam karyanya La Cronogia en Las Obras des Averoes pada tahun 1943. Karya-karya Ibn Rusyd dibedakan antara karya yang berdasarkan peikiran sendiri Ibn Rusyd dan karya yang merupakan komentar atas karya-karya orang lain terutama karya Aristoteles.
Beberapa karya Ibn Rusyd yang masih dapat dilacak diantaranya sebagai berikut:
Filsafat dan hikmah
- Tahafut At Tahafut (kerancuan dalam Kerancuan) adalah tanggapan atas buku Al Ghazali Tahafut Al Falasifah (Kerancuan Para Filosof)
- Jauhar Al Ajram As Samawiyah (Struktur Benda-benda Langit)
- Ittishal Al 'Aql Al Mufarriq bi Al Insan (Komunikasi Akal yang Membedakan dengan Manusia)
- Masa'il fi Mukhtalif Aqsam Al Manthiq (Beberapa Masalah tentang Aneka Bagian Logika)
- Syuruh Katsirah 'ala Al Farabi fi Masa'il Al Manthiqi Aristha (Beberapa Komentar terhadap Pemikiran Aristoteles)
- Maqalah fi Ar Radd 'ala Abi Ali bin Sina (Makalah Jawaban untuk Ibnu Sina), dan lainnya banyak sekali.
Ilmu kalam
- Fashl Al Maqal fima Baina Al Hikmah wa Asy Syari'ah min Al Ittishal (Uraian tentang Kitan filsafat dan Syari'ah)
- I'tiqad Masyasyin wa Al Mutakallimin (Keyakinan kaum Liberalis dan Pakar Ilmu Kalam)
- Manahij Al Adillah fi 'Aqaid Al Millah (Beberapa Metode Argumentatif dalam Akidah Agama), dan lain-lain.
Fikih dan ushul fikih
- Bidayah Al Muqtashid wa An Nihayah Al Muqtashid (Dasar Mujtahid dan Tujuan Orang yang Sederhana). Kitab ini diakui oleh Ibnu Jafar Zahabi sebagai buku terbaik di sekolah ilmu fikih Maliki, dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan sangat terkenal.
- Ad Dar Al Kamil fi Al Fiqh (Studi Fikih yang Sempurna)
- Risalah Adh Dhahaya (Risalah tentang Kurban), dan lain-lain.
Ilmu astronomi
- Maqalah fi Harkah Al Jirm As Samawi (Makalah tentang Gerakan Meteor)
- Kalam 'ala Ru'yah Jirm Ats Tsabitah (Pendapat tentang Melihat Meteor yang Tetap Tak Bergerak)
Ilmu Nahwu
- Kitab Adh Dharuri fi An Nahw (Yang Penting dalam Ilmu Nahwu)
- Kalam 'ala Al Kalimah wa Al Ism Al Musytaq (Pendapat tentang Kata dan Isim Musytaq)
Kedokteran
- Al Kulliyat fi Ath Thibb (Studi Lengkap tentang Kedokteran). Sebanyak 7 jilid, dan menjadi rujukan dan buku wajib di berbagai universitas di Eropa. Diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Inggris, dan Ibrani.
- Syarh Arjuwizah Ibn Sina fi Ath Thibb. Secara kauntitas kitab ini paling banyak beredar. Menjadi bahan kajian ilmu kedokteran di Oxford University Leiden dan Universitas Sourborn Paris.
- Maqalah fi At Tiryaq (Makalah tentang Obat Penolak Racun), yang telah diterjemahkan ke bahasa Latin, Inggris, dan Ibrani.
- Nasha'ih fi Amr Al Ishal (Nasihat tentang Penyakit Perut dan Mencret), yang telah diterjemahkan ke bahasa Latin dan Ibrani.
- Mas'alah fi Nawaib Al Humma (Masalah tentang Penyakit Demam)




3. Pemikiran Filsafat Ibn Rusyd
Beberapa ahli berpendapat, dari sekian banyak karya Ibn Rusyd yang bisa diambil sebagai spirit perumusan dan pengembangan fikih emansipatoris, adalah tiga bukunya Fashl al-Maql, al-Kashf `an Manhij al-Adillah dan Tahfut al-Tahfut (ditulis berturut-turut pada tahun 1178, 1179, dan 1180) merupakan karya terpenting. Ketiga buku ini memuat pandangan kontroversial Ibn Rusyd yang pernah menggemparkan dunia Eropa pertengahan abad ke-13.
1.Kitab Fashl Al Maqal fima Baina Al Hikmah wa Asy Syari'ah min Al Ittishal (Kaitan Filsafat dengan Syariat) yang isinya menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan.
2. Kitab Al-Kasyf an Manahij al-Adillah fa `Aqaid al-Millah (Menyingkap berbagai Metode Argumentasi Ideologi Agama-agama) yang menjelaskan secara terinci masalah-masalah akidah yang dibahas oleh para filsuf dan teolog Islam.
3.Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dalam Kitab Kerancuan karya al-Ghazali) yang kandungan isinya membela kaum filsuf dari tuduhan kafir sebagaimana dilontarkan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Filsafat-filsafat kaum Filosof).
4. Buku lainnya yang juga penting dalam bidang hukum Islam/fiqh, adalah Bidayah al-Mujtahid (permulaan bagi Mujtahid). Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di dalamnya diuraikan pendapat Ibn Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam-imam mazhab.
Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam Syariah, yaitu
salah satu pandangan Ibn Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni (perpaduan) agama dan filsafat (al-ittishal baina al-syariah wa al-hikmah). Ibn Rusyd memberikan kesimpulan bahwa "filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama". Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama. Ini didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia kepada "pengetahuan yang lebih sempurna" (at-tamm al-ma`rifah).
Dalam buku kecilnya yang berjudul Fashl Al Maqal fima Baina Al Hikmah wa Asy Syari'ah min Al Ittishal (Kaitan filsafat dengan Syariat), Ibn Rusyd menjelaskan tentang harmonitas antara `aql (akal/nalar) dengan naql (tranferensi) mengenai metode (manhaj) dan tujuan akhir (ghayah). Menurutnya, belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak dilarang dalam agama Islam, bahkan al-Quran sebagai pedoman umat Islam berisi banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat. Untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta filsafat dan teks al-Quran. Ibn Rusyd menegaskan bahwa teks al-Quran itu hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwil. Takwil inilah merupakan salah satu bahasan penting dalam buku kecil ini.
Mengenai hubungan antara agama dan filsafat, menawarkan satu pandangan baru yang orisinil dan rasional, dalam arti mampu menangkap dimensi rasionalitas baik dalam agama maupun dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan keteraturan dan keajekan alam ini, dan juga pada landasan prinsip kausalitas. Sementara itu, rasionalitas agama juga dibangun atas dasar maksud dan tujuan yang diberikan sang Pembuat Syariat, dan yang pada akhirnya bermuara pada upaya membawa manusia kepada nilai-nilai kebajikan atau al-fadlilah.
Ibn Rusyd juga mengatakan bahwa siapa yang mempelajari anatomi akan meningkatkan keimanannya kepada Allah Yang Mahakuasa dan Esa. Pernyataan ini muncul dari berpegang teguhnya ia pada teks agama melalui penajaman akal budi. Ini membuktikan bagaimana ia mengenal Allah. Dalam banyak karyanya di bidang filsafat dan kedokteran kita jumpai ketaatan dan kedalaman pemahamannya terhadap Alquran dan hadits.
Tidak ada satu bentuk pemikiran yang berkembang di masanya yang berhasil lolos dari kritik dan analisanya; sebuah kritisisme yang dibangun di atas rasionalitas yang mapan. Munculnya pemikiran Ibn Rusyd tak ubahnya seperti “goncangan” terhadap status quo. Disamping meneriakkan terbukanya pintu ijtihad dalam segala bidang, juga berupaya melakukan rasionalisasi terhadap segala bentuk keilmuan di masanya.
Rasionalitas Ibn Rusyd terlihat dari beberapa argumentasinya dalam memahami permasalahan akidah Islam. Ibn Rusyd mangakui adanya kebebasan aksi dalam diri manusia. Ibn Rusyd telah berhasil melakukan rasionalisasi terhadap permaslahan qadl dan qadr yang selama berabad-abad menjadi sentral persengketaan antar aliran dalam Islam. Keimanan terhadap qadl dan qadr Tuhan tidak akan memberedel tanggungjawab manusia, juga tidak akan memberangus otoritas Tuhan atas makhluk-Nya. Setiap perbuatan manusia, selain merupakan kehendak dirinya sendiri bukan paksaan dari Tuhan, juga merupakan perbuatan yang sangat bergantung pada ikatan yang ada di luar kehendaknya sendiri. Ikatan tersebut adalah ciptaan Tuhan yang lepas dari intervensi manusia. Perbuatan manusia adalah kehendaknya sendiri dengan aturan pelaksanaan yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Rasionalitasnya dalam masalah akidah terlihat pula dalam menyelesaikan permasalahan kausalitas dalam Islam. Ketika para ahli kalam menjustifikasi kemukjizatan seorang rasul, maka mereka, secara tidak sadar, telah tergiring pada sebuah pengingkaran terhadap kausalitas di dalam alam semesta. Tidak ada ketetapan hukum di alam semesta, semuanya hanya berupa kebiasaan. Semua kejadian di alam semesta merupakan ciptaan dan kehendak Tuhan yang mampu melakukan apa saja yang Ia kehendaki. Ibn Rusyd dalam hal ini mampu memberikan argumentasi baru yang berbeda sama sekali dengan argumentasi para ahli kalam.
Argumentasi tersebut tidak membuatnya mengingkari keberadaan mukjizat dalam Islam, apalagi sampai memaksanya untuk menyatakan sesuatu yang tidak rasional; seperti pengingkaran terhadap kausalitas alam semesta. Kebenaran seorang nabi tidak hanya didasarkan pada mukjizat yang dibawa, melainkan pada muatan risalah yang diemban. Mukjizat hanya sebuah pengukuh terhadap kebenaran sebuah risalah. Dari itu, pengakuan terhadap mukjizat tidak mengharuskan kita menolak sesuatu yang terjadi secara berulang-ulang di depan mata. Mengingkari karakteristik di dalam alam semesta sama saja dengan mengingkari sunnatullah. Mengingkari hal tersebut tak ada bedanya dengan mengingkari hikmah ciptaan Tuhan, lebih-lebih jika pengingkaran tersebut membawa pengaruh negatif bagi kemajuan peradaban manusia. Manusia cenderung tidak agresif dalam menemukan rahasia alam semesta. Peran akal menjadi tidak optimal dalam menyikapi setiap permasalahan. Semuanya akan dikembalikan pada kekuasaan dan kehendak Tuhan. Tuhan Maha Berkehendak atas segala hal di muka bumi ini.
Nilai progresivitas pemikiran Ibn Rusyd terlihat pula dari upayanya menyelesaikan problematika pertentangan antara agama dan filsafat melalui metode tawil. Penggunaan takwil berarti memberikan porsi seluas-luasnya kepada akal manusia untuk menyikapi semua permasalahan yang ada. Ibn Rusyd tidak risau bila metode pentakwilan harus diambil dari umat di luar Islam. Ibn Rusyd mengingatkan keberadaan komplikasi dalam setiap keilmuan; di mana yang datang belakangan mengambil manfaat dari temuan para pendahulunya. Lebih dari itu, Ibn Rusyd sangat menghargai adanya perbedaan pendapat. Perbedaan agama tidak menghalangi dirinya mengkaji filsafat Yunani. Ibn Rusyd juga menganjurkan dilakukannya interaksi keilmuan antara Islam dengan agama-agama lain. Kebenaran adalah sesuatu yang harus dicari, namun tidak untuk dimonopoli.
4. Pengaruh Pemikiran Ibn Rusyd di Barat
Kenyataan yang tak terbantahkan bahwa kemajuan peradaban Barat (Eropa) sejak abad ke-12 tidak terlepas dari sumbangan peradaban Arab-Islam yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh filosof saintis muslim. Orang-orang Barat menimba ilmu dari orang-orang Islam dan membangun peradaban mereka setelah mendapat sentuhan dari peradaban Islam. Oleh karena itu Gustave Lebon (Nasution, 1985: 74-75) mengakui bahwa orang Arablah yang menyebabkan Barat mempunyai peradaban, mereka adalah imam bagi Barat selama enam abad. Demikian juga Rom Landau (Nasution, 1985: 74-75) menegaskan bahwa dari orang-orang Arab-Islam inilah orang-orang Barat belajar berpikir objektif dan menurut logika. Arab telah membukakan mata Barat untuk belajar berlapang dada dan mengembangkan toleransi terhadap kaum minoritas. Hal tersebut membawa Barat kepada kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan.
Tokoh-tokoh ilmuwan, filosof dan saintis Barat banyak yang belajar dari filosof dan saintis muslim. Banyak tokoh-tokoh ilmuwan dan filosof muslim Abad Pertengahan mendapat tempat yang terhormat di kalangan sarjana-sarjana Barat. Namun tokoh filosof dan pemikir muslim yang dianggap paling berpengaruh dalam proses alih ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat adalah Ibn Rusyd.
Rasionalitas filsafat Ibn Rusyd justru membawa angin segar bagi dunia Eropa, bahkan mampu membebaskan Eropa dari cengkraman hegemoni gereja. Kehadiran filsafat Ibn Rusyd telah mengobarkan api revolusi yang menghendaki pemisahan sains dari agama. Ibn Rusyd, dengan kemampuannya mengomentari karya-karya Aristoteles, telah membangkitkan kembali budaya berpikir yang telah lama redup dalam peradaban tersebut. Kesadaran akan urgensi rasio dalam memahami ayat-ayat Tuhan mulai berkembang subur di Eropa. Kristen dan Yahudi mulai mengenal harmonisasi antara agama dengan filsafat. Muncullah dalam sejarah Barat teolog-teolog rasionalis yang menjadi simbol perlawanan terhadap gereja yang sangat hegemonik.
Dalam hal ini, figur Maimonides (Musa bin Maemun) merupakan teolog Yahudi yang sangat berjasa bagi perkembangan pemikiran Ibn Rusyd di Eropa. Ia adalah salah satu murid Ibn Rusyd yang sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikirannya. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari pemikiran Musa bin Maemun dalam memahami hubungan antara agama dan filsafat, klasifikasi derajat intelektual manusia dalam berfilsafat, dan kesamaan tujuan antara kitabnya Dillah Khayrin dengan Fashlu al-Maql. Inspirasi pemikiran Ibn Rusyd telah menjadikan Musa bin Maemun mampu menafsirkan permasalahan-permasalahan teologis dalam Yahudi, yang dianggap tidak sejalan dengan rasio manusia. Karya-karya Musa bin Maemun yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani merupakan faktor terpenting bagi perkembangan filsafat Islam di Eropa.
Selanjutnya, sejak abad ke-13 banyak sarjana-sarjana yahudi yang menulis himpunan dan ringkasan atas terjemahan-terjemahan karya Ibn Rusyd ke dalam bahasa Ibrani. Selain menterjemahkan karya-karya Ibn rusyd, para sarjana Yahudi abad ke-14 juga menulis komentar-komentar terhadap karya Ibn Rusyd. Tokoh yang paling terkenal diantaranya adalah Lavi ben gerson dari Begnol dan Moses dari Narbonne.
Dari sebagian karya-karya terjemahan Ibn Rusyd ke dalam bahasa Ibrani ini kelak muncul karya-karya terjemaham ke dalam bahasa Latin. Inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran Eropa dan menguncang sendi-sendi kehidupan sosio-religius dalam masyarakat barat. Pengaruhnya yang demikian besar terlihat dari adanya gerakan averoisme, yaitu gerakan yang berkembang di Barat sejak abad ke-13 yang berusaha mentransfer dan mengembangkan gagasan-gagasan Ibn Rusyd ke dalam peradaban Barat. Sampai abad ke-17 pengaruhnya tetap dominan dan buku-bukunya tetap dipelajari di Universitas-universitas Barat. Gerakan inilah yang akhirnya melahirkan Renaisans dalam masyarakat Barat, yaitu paham yang berusaha membangkitkan kembali ilmu pengetahuan, setelah Barat mengalami masa-masa kegelapan.
Ada beberapa faktor yang mendukung besarnya pengaruh Ibn Rusyd ke dalam peradaban Barat (Iqbal, 2004: 93-94-). Pertama, dari segi lingkungan tempat tinggalnya, Ibn Rusyd adalah ”orang Barat”. Ia lahir dan meninggal di Barat (Cordova, Spanyol). Dari segi lingkungn inilah, sangat mudah bagi orang-orang Barat untuk mengakses pemikirannnya. Apalagi keadaan ini dipengaruhi pula oleh sikap umat Islam di belahan Timur yang kurang bersahabat dengan filsafat sejak al-Ghazali menyerang filsafat dan mengkafirkan para filosof.
Kedua, Ibn Rusyd adalah pemikir Muslim yang sangat tertarik pada pemikiran filosof Yunani, Aristoteles. Ibn Rusyd berjasa dalam menghadirkan kembali warisan Yunani Kuno kepada Barat. Ibn Rusyd-lah yang menggali dan mengembalikan mutiara yang telah lama hilang terebut. Sehingga orang Barat merasa berutang budi kepada Ibn Rusyd dan begitu menghormatinya.
Ketiga, dan yang paling penting adalah Ibn Rusyd pemikir rasional dan berhasil mengembangkan gagasan-gagasan rasional ke Dunia Barat. Ia Menempatkan posisi akal pada tempat yang tinggi. Inilah yang kemudian berkembang dan sangat mempengaruhi pola pikir Barat sejak Abad Pertengahan akhir.
Namun, diakui atau tidak, kehidupan memang tidak selamanya berjalan mulus. Kalangan ortodoks Yahudi ternyata tidak begitu saja membiarkan kehadiran filsafat agung tersebut. Perlawanan para rahib Yahudi maupun para pendeta agama lainnya cukup menjadi bukti ketidakcocokan para agamawan terhadap filsafat. Filsafat dianggap sebagai pemikiran yang akan mendistorsi paham keagamaan. Sebagai antisipasi, cara satu-satunya adalah melakukan penindasan terhadap para filsuf. Walaupun pelbagai penindasan dilakukan, penggalian terhadap filsafat Islam tidak mengalami penyusutan dalam tradisi Yahudi. Terjadilah perpindahan etnis Yahudi, dari Andalusia menuju Profinsia, dibarengi dengan penerjemahan keilmuan Islam secara besar-besaran. Dan atas jasa filsuf Yahudi bernama Lawn Afriqi, filsafat Ibn Rusyd mendapatkan tempat yang layak dalam pemikiran Yahudi. Peran Lawn Afriqi terhadap filsafat Ibn Rusyd sama halnya dengan peran Ibn Rusyd terhadap filsafat Aristoteles. Ia mampu menjadi kementator terbaik atas filsafat Ibn Rusyd.
Pada babak selanjutnya, pengaruh filsafat Ibn Rusyd mulai melemah. Perlawanan ortodoksi Yahudi membuat prestise pemikiran Ibn Rusyd mulai menyusut dan hampir punah. Ini tidak lepas dari andil Musa al-Masneu yang menerjemahkan karya al-Ghazali; Tahfutu al-Falsifah. Kesadaran akan ketidakampuhan kekuasaan dan kekerasan dalam memberangus sebuah pemikiran semakin membuka lebar pintu masuk khazanah keilmuan Islam. Penerjemahan karya al-Ghazali terus digalakkan. Paparan al-Ghazali dalam kitab Maqshidu al-Falsifah dianggap sebagai paparan filsafat yang mudah dipahami oleh publik. Dan pada akhirnya, penerjemahan tidak hanya dilakukan terhadap keilmuan yang berlawanan dengan filsafat, bahkan tasawuf, syariat, juga sastra, turut serta menjadi bidang garapan. Krisis intelektual yang menimpa Yahudi telah memaksanya menerjemahkan semua keilmuan Arab Islam.
Tidak hanya dalam Islam dan Yahudi filsafat Ibn Rusyd mendapat perlawanan. Thomas Aquinas, sebagai representasi dari kaum agamawan Kristen, merasa resah dengan kehadiran filsafat dalam Kristen. Gagasan tentang keabadian alam, ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular dalam alam semesta dan lain sebagainya, merupakan faktor pemicu perseteruan antara kaum agamawan dengan para filsuf. Para agamawan tidak terbiasa mendengarkan pernyataan-pernyataan semacam itu. Di Eropa, Thomas Aquinas merupakan penentang paling dahsyat terhadap pemikiran Ibn Rusyd di Eropa. Dalam perlawanannya, Thomas Aquinas secara langsung merujuk kepada filsafat Aristoteles. Menurutnya, Ibn Rusyd telah melakukan kesalahan. Kesalahan itu terletak pada ketidakkonsistenannya dalam memegang filsafat Aristoteles, sehingga berdampak sangat fatal bagi perkembangan filsafat Aristoteles itu sendiri. Ditambah lagi kesalahan para akademisi Arab ketika mereka menerjemahkan dan mengomentari filsafat Aristoteles.
Sepeninggal Thomas Aquinas, perlawanan kaum teolog Kristen terhadap pemikiran Ibn Rusyd bukannya melemah, bahkan semakin menguat dan terorganisir. Raymun Martin dengan menggunakan pemikiran al-Ghazali melakukan perlawanan terhadap penganut Averroisme di Eropa, yang kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya. Bahkan Dante, seorang pujangga berkebangsaan Italia, juga ikut ambil bagian dalam perlawanan tersebut. Dalam rangka perlawanan itu, berusaha keras mendapatkan pengukuhan secara langsung dari Kongres Gereja dengan mengusulkan tiga hal. Pertama, membentuk tentara untuk menghancurkan Islam, kedua, mendirikan universitas bahasa Arab, dan ketiga, melarang umat Kristiani mempelajari filsafat Ibn Rusyd. Tapi sayang, usulan-usulan yang diajukannya tidak mendapatkan respon positif, ditolak oleh Kongres.
Pengaruh Ibn Rusyd kembali menguat di Eropa, tepatnya setelah Lois XI melakukan pembaharuan terhadap keilmuan filsafat. Lois XI memerintahkan pembelajaran terhadap filsafat Aristoteles yang telah dikomentari oleh Ibn Rusyd kepada semua pelajar. Pemikiran Ibn Rusyd pada akhirnya mampu menunjukkan kekuatannya setelah teraniaya pada abad ke tiga belas. Pada abad ini, posisi filsafat Ibn Rusyd yang semula berada di bawah filsafat Ibnu Sina, terlihat mulai mengungguli, bahkan juga terhadap semua bentuk aliran pemikiran yang berkembang di Eropa, filsafat maupun agama. Hal ini kembali kepada beberapa faktor. Pertama, pengakuan para teolog dan filsuf mengenai signifikansi filsafat Aristoteles, yang dengan demikian memperlihatkan bahwa perbedaan antara mereka hanya pada tataran penafsiran.
Kedua, keturunan Aria yang berkembang di Eropa mempunyai kelebihan tertentu dalam membidangi dunia filsafat. Ketiga, peran Fadrik II dalam memerangi agama di Eropa melalui filsafat, telah memotivasi penerjemahan pemikiran filsafat Islam di Eropa. Keempat, serangan Kristen terhadap Islam cenderung mengabaikan etika-etika kemanusian, di mana secara tidak langsung paradigma sopan-santun Shalahuddin al-Ayyubi telah memberikan pengaruh mendalam terhadap kaum Kristiani untuk mengetahui lebih jauh pemikiran Islam; paradigma yang berfungsi sebagai falsafah hidup yang tidak lagi memerlukan penjelasan.
Pada abad ke enam belas, muncullah anggapan baru tentang keserasian filsafat Aristoteles dengan paham gereja, yaitu dibarengi dengan pernyataan Kardianal Bill Avinsi mengenai signifikansi filsafat Aristoteles dalam teologi Kristen, yang sekaligus menganggap Ibn Rusyd sebagai komentator terbaik filsafat Aristoteles. Karya-karya Ibn Rusyd tersebar begitu luas. Mereka mampelajari filsafat Aristoteles melalui ringkasan dan penjalasan Ibn Rusyd, sehingga mampu memunculkan dua aliran besar dalam memahami pemikiran Aristoteles; yaitu aliran yang berpegang pada penjelasan Ibn Rusyd dan aliran yang berpegang pada penjelasan Alexander. Hal ini memperlihatkan bahwa perbedaan metode dalam memahami filsafat Aristoteles tidak mengakibatkan perbedaan pada signifikansi pemikirannya dalam menghadapi problematika hidup. Kesatuan persepsi dalam dua aliran tersebut melahirkan kesadaran untuk mengacu secara langsung kepada pemikiran Aristoteles, tidak melalui perantara lain.
Oleh karenanya, pemikiran Ibn Rusyd mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pemikiran asli Aristoteles, di mana pada akhirnya pemikiran Aristoteles juga mengalami kepunahan di saat filsafat modern mulai lahir di Eropa. Filsafat modern yang sangat menekankan sisi empirik telah berhasil mengeser filsafat Aristoteles yang hanya menekanakan sisi pemikiran dan perenungan belaka. Uniknya, keberhasilan melepaskan diri dari hegemoni pemikiran Aristoteles justru merupakan buah dari pemahaman terhadap filsafat Aristoteles secara benar. Rasionalitas yang didapatkan dari pemikiran Aristoteles telah membuat para pemikir Eropa memikirkan sebuah kontinuitas dari apa yang telah diletakkan Aristoteles. Pemikiran Aristoteles merupakan pemikiran yang pernah berjaya pada masanya. Maka, Aristoteles dengan komentator terpercayanya, Ibn Rusyd, merupakan instrumen terpenting dalam membangun filsafat modern; sebuah filsafat yang telah menghantarkan Barat menuju masa cemerlang.



C. Kesimpulan
Tidak dapat dibantah bahwa perkembangan dan kemajuan peradaban Barat yang spektakuler seperti sekarang ini tidak dapat dilepaskan dari sentuhan peradaban Islam Abad Pertengahan, karena pada Abad Pertengahan, Islam tampil sebagai puncak peradaban dunia. Masyarakat Masyarakat Barat pada saat itu berada dalam abad keterbelakangan, kemandegan berpikir dan kebekuan. Barat menimba sebanyak-banyaknya capaian peradaban Islam tersebut. Tokoh yang paling berpengaruh bagi Barat dalam transformasi peradaban tersebut adalah Ibn Rusyd (Averroes).
Proses transformasi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat terjadi melalui rute segitiga perdagangan antara Spanyol-Sicilia-Syiria. Para guru dan pedagang dari Spanyol, muslim Sicilia dan Afrika serta tentara perang Salib adalah pembawa-pembawa utama ilmu pengetahuan Islam ke Barat. Selain itu jaur yang tak kalah pentingnya dalam proses transformasi ini adalah jalur pendidikan. Universitas-universitas seperti di kota Seville, Cordova, Toledo, Granada, dan Valencia banyakdikunjungi pemuda-pemuda Eropa berkumpul di kota-kota tersebut dan menimba ilmu pengetahuan Muslim. Demikian juga orang-orang Yahudi Spanyol ikut serta dalam proses alih pengetahuan Islam tersebut.
Gagasan Averrroisme yang ingin mengembangkan gagasan-gagasan Ibn Rusyd dan berkembang di Barat sejak abad ke-13 ternyata tidak sepenuhnya bertumpu pada pemikiran Ibn Rusyd. Ada penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para eksponen Averroisme dari ajaran-ajaran Ibn Rusyd yang sebenarnya. Penyimpangan yang paling jelas adalah pandangan Ibn Rusyd tentang harmonisasi antara akal dan wahyu, filsafat dan agama. Mereka hanya mengambil gagasan rasionalisme Ibn Rusyd.

Oleh: IA KURNIA

Social Studies

Perkembangan pendidikan ilmu-ilmu sosial di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pengembangan pendidikan ilmu-ilmu sosial di Amerika Serikat yang disebut dengan Social Studies, seperti yang dikemukakan oleh Somantrie (2005:1): “Diakui atau pun tidak, Social Studies yang telah berkembang cukup lama di Amerika Serikat telah memberikan inspirasi kuat kepada para pengembang kurikulum Ilmu Pengetahuan Sosial di Indonesia”.
Social Studies sebagai sebuah kajian baru terus dikembangkan oleh para ahlinya yang tergabung dalam sebuah organisasi keanggotaan utama para pendidik social studies di Amerika serikat, yaitu “the National Council for the Social Studies (NCSS)”. Banyak dokumen yang telah dihasilkan dalam upaya pengembangan Social Studies tersebut yang dilakukan oleh NCSS.
Pada tahun 1992, Social Studies telah dirumuskan kembali oleh “the Board of Directors of National Council for the Social Studies”. Rumusan definisi baru tersebut (dalam Sumantrie, 2005:3) adalah:
Social studies is the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such discipline as anthropology, archaelogy, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary purposes of social studies is to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
Definisi di atas menunjukkan bahwa Social Studies di Amerika Serikat betul-betul diarahkan agar para siswa (young people) yang datang dari berbagai latar belakang dapat memiliki spektrum pengalaman belajar dan pengalaman hidup yang luas untuk menjadi warga negara yang kompeten dari masyarakat demokratis dan berbeda secara kultural dalam dunia yang saling tergantung.
Hampir sama dengan definsi di atas dengan penekanan untuk siswa tingkat dasar dan menengah, The Thesaurus of ERIC Descriptors (dalam Suyanto, 2005:3) memberikan definisi: “ … the social studies consist of adaptations of knowledge from the social sciences for teaching purposes at the elementary and secondary level of education”.
Di Indonesia, Social Studies diterjemahkan ke dalam suatu peristilahan baru yang seringkali dijadikan perdebatan di kalangan para ahli dan praktisi pendidikan. Peristilahan tersebut yang berkembang misalnya: ilmu pengetahuan sosial, pendidikan ilmu sosial, pendidikan ilmu pengetahuan sosial, studi sosial, sosial studi, ilmu sosial dasar, dan sebagainya.
Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia (HISPIPSI) misalnya menggunakan istilah Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dengan singkatan PIPS. HISPIPSI memberikan definisi PIPS (dalam Al Muchtar, 2004:15) sebagai berikut: “PIPS merupakan penyerderhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang diorganisis dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”.
Somantri (2001:74) memberikan definisi Pendidikan IPS sebagai berikut: “Pendidikan IPS adalah suatu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, ideologi negara dan disiplin ilmu lainnya serta masalah-masalah sosial terkait, yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Menurut Hasan (1996:8) secara sederhana: “Pendidikan ilmu sosial adalah pendidikan mengenai disiplin ilmu-ilmu sosial”. Sebagai penjelasan definisi tersebut, Hasan (1996:8-14) menegaskan bahwa definisi tersebut berlaku sepenuhnya untuk pendidikan ilmu-ilmu sosial di perguruan tinggi. Perbedaannya dengan pendidikan ilmu sosial di persekolahan adalah terletak pada perbedaan tujuan pendidikan masing-masing tingkat pendidikan, sehingga berpengaruh pada luas ruang lingkup (scope) yang harus dipelajari, kedalaman materi untuk setiap pokok bahasan terpilih, dan memilih apa yang seharusnya menjadi dasar bagi pendidikan lanjutan di perguruan tinggi tersebut. Dasar pemilihan materi tersebut adalah kedudukan materi yang akan diajarkan dalam suatu disiplin ilmu, bentuk pendidikan ilmu sosial yang dikehendaki, dan pertimbangan pendidikan mengenai tujuan dan fungsi suatu lembaga pendidikan didalamnya termasuk pertumbuhan mengenai perkembangan peserta didik, perkembangan dalam teori belajar dan proses belajar, arah politik, kondisi sekolah, dan lingkungan sosial budaya suatu lembaga pendidikan berada.
Secara spesifik dan lebih rinci, Somantrie (2005:4) menjelaskan pengetahuan sosial dan ilmu-ilmu sosial sebagai program pendidikan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
(1) Have as a major purpose the promotion of civic competence-which is the knowledge, skills, and attitudes required of students in our democratic republic.(2 )Integrate knowledge, skills, and attitudes within and across disciplines. (3) Help students construct a knowledge base and attitudes drawn from academic disciplines as specialized ways of viewing reality. (4) Reflect the changing nature of knowledge, fostering entirely new and highly integrated approaches to resolving issues of significance to humanity.

Dikaitkan dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Winataputra (2007:4) menyebutkan misi Pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial/PIPS adalah:
Misi pertama:
­ PIPS adalah PKn (wajib dan mandiri) plus IPS (sebagai bahan kajian)
­ Fokus PKn adalah warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab
­ Fokus IPS adalah berilmu, cakap, kreatif, mandiri
­ Tujuan PKn adalah rasa kebangsaan dan cinta tanah air
­ Tujuan IPS adalah pengetahuan, pemahaman, kemampuan analisis atas kondisi sosial masyarakat
­ IPS dapat dikemas dalam lebih dari satu mata pelajaran dan/atau berkolaborasi dengan bahan kajian lain.
Misi kedua: Muara Pkn dan IPS adalah:
­ Pengembangan kemampuan
­ Pembentukan watak
­ Pembangunan peradaban bangsa yang bermartabat
­ Pencerdasan kehidupan bangsa

Sedangkan bentuk pendidikan ilmu-ilmu sosial sangat tergantung dari definisi atau pengertian yang dianut seseorang. Hasan (1996:14-20) menyebutkan secara umum ada dua posisi bentuk pendidikan ilmu-ilmu sosial. Pertama, pendidikan yang menggunakan materi dari disiplin ilmu-ilmu sosial sebagai salah satu sumber materi/pokok bahasan kurikulum. Kedua, pendidikan ilmu-ilmu sosial yang menggunakan pendidikan disiplin ilmu sosial sebagai sumber materi pendidikan.
Penganut kelompok kedua terbagi atas dua bagian, yaitu mereka yang menginginkan agar pendidikan disiplin ilmu tersebut dilakukan secara terpisah sehingga merupakan pendidikan disiplin ilmu yang utuh, dan mereka yang menginginkan pengajaran disiplin ilmu tidak terpisah melihat keuntungan yang lebih besar bagi pendidikan. Kelompok yang menginginkan pendidikan disiplin ilmu sosial secara terpisah biasanya disebut golongan intelektual tradisional, dan mereka yang menginginkan adanya keterhubungan disebut golongan behavioralisme sosial.
Golongan intelektual tradisional beranggapan bahwa pengajaran secara terpisah setiap disiplin ilmu adalah sesuatu yang terbaik, karena cara berfikir intelektual akan terlatih dengan baik. Pemikiran kritis, keterampilan prosedural dan proses hanya dimiliki oleh setiap disiplin secara terpisah. Dalam pendidikan ini, siswa harus sudah mempelajari cara berfikir, prosedur kerja, dan memahami berbagai pengertian.
Golongan behavioralisme sosial berpendapat keterhubungan fenomena akan memberikan pula konsekuensi terhadap keterhubungan antardisiplin ilmu-ilmu sosial. Keterhubungan itu akan dapat memberikan dampak pendidikan yang sangat luas tanpa kehilangan arti dan pemikiran dalam disiplin. Golongan ini mengajukan dua pendekatan, yaitu pendekatan korelasi/berhubungan yang sifat nya interdisiplin dan multidisiplin, dan pendekatan terpadu (integrated).
Dalam pendekatan interdisiplin, terdapat satu disiplin ilmu-ilmu sosial yang dijadikan disiplin utama dalam mengungkapkan atau melihat suatu masalah, disiplin ilmu sosial lainnya sifatnya membantu untuk mempertajam kajian. Pendekatan multidisiplin menginginkan kedudukan setiap disiplin adalah sama, sehingga permasalahan yang sama dikaji dalam berbagai dimensi dengan pendekatan keilmuan yang struktural.
Bentuk pendekatan terpadu menginginkan keterpaduan yaitu integrasi lebur dari semua disiplin ilmu-ilmu sosial. Dalam pendekatan ini terdapat dua kelompok, yaitu yang menginginkan keterpaduan yang menuju kepada pembentukan satu disiplin ilmu yaitu ilmu sosial, dan yang menginginkan integrasi tetapi tidak dalam semangat untuk menuju suatu disiplin ilmu baru.

Penulis IA KURNIA

KRISIS IDENTITAS IPS (Modifikasi dari tulisan Sdr Ia Kurnia)

Oleh: H. Purwanta, Mahasiswa S3 UPI Bandung

Permasalahan identitas IPS di Indonesia sangat rumit. Istilah social studies memperoleh makna yang beragam, seperti ilmu pengetahuan sosial, pendidikan ilmu pengetahuan sosial, pendidikan sosial, studi sosial, dan ilmu sosial dasar. Bahkan, meski hanya dalam jangka waktu yang relatif pendek, social studies pernah diterjemahkan ke dalam kurikulum nasional menjadi ilmu sosial pada tahun 2001. (G. Moedjanto pada Kompas 26 Mei 2003) Keberagaman yang berpangkal pada pemaknaan tekstual kata “studies” sebagai kajian, ilmu dan pendidikan tersebut menjadikan krisis identitas IPS di Indonesia menjadi semakin dalam.
Perbedaan pemaknaan mengakibatkan terjadinya perbedaan pandangan terhadap identitas IPS di Indonesia. Hasan (1996:8) menjelaskan bahwa IPS sebagai Pendidikan Ilmu Sosial. Oleh karena itu, pengertian IPS adalah pendidikan mengenai disiplin ilmu-ilmu sosial. Selanjutnya dia menguraikan bahwa definisi tersebut berlaku penuh pada pendidikan ilmu-ilmu sosial di perguruan tinggi. Pendidikan ilmu sosial di persekolahan memiliki perbedaan tujuan untuk masing-masing satuan pendidikan, sehingga berpengaruh pada luas ruang lingkup (scope) yang harus dipelajari, kedalaman materi untuk setiap pokok bahasan terpilih, dan pemilihan dasar-dasar keilmuan penting bagi pendidikan lanjutan di perguruan tinggi. (Hasan, 1996: 8-14)
Berbeda dengan Hasan, Somantri (2001:74) menggunakan istilah Pendidikan IPS. Dia menempatkan identitas IPS sebagai suatu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, ideologi negara dan disiplin ilmu lainnya serta masalah-masalah sosial terkait, yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Sealur dengan Somantri, Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia (HISPIPSI) memilih menggunakan istilah Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dengan singkatan PIPS sebagai pengindonesiaan social studies. HISPIPSI memberikan definisi PIPS sebagai berikut: “PIPS merupakan penyerderhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang diorganisasi dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”. (A. Muchtar, 2004:15)
Dari dua perspektif yang dikutip terakhir, tampak bahwa ada kesepahaman tentang istilah PIPS sebagai terjemahan dari social studies. Selain itu, keduanya memandang identitas IPS atau PIPS dengan menggunakan istilah penyederhanaan disiplin ilmu non kependidikan, Somantri menyatakan semua cabang ilmu pengetahuan, sedang HISPIPSI membatasi pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kesamaan juga terdapat pada penjelasan tentang epistemologi IPS, yaitu untuk tujuan pendidikan.
Meskipun telah terjadi pengerucutan tentang identitas IPS, tetapi tetap saja belum menjelaskannya secara terang dan membedakan (clear and distinc). Istilah penyederhanaan ilmu-ilmu non kependidikan yang digunakan untuk menjelaskan identitas IPS, masih terlalu umum atau kurang spesifik. Paling tidak ada dua kemungkinan makna penyederhanaan, yaitu kompetensi atau materi. Pada satu sisi, penyederhanaan dalam arti kompetensi dapat dimaknai sebagai usaha adaptasi kompleksitas ilmu pengetahuan terhadap usia siswa. Penyesuaian dapat dilakukan baik dalam pengertian perkembangan kognitif (Piaget), moral (Kholberg) maupun sosial. Akan tetapi penyederhanaan juga dapat dimaknai dalam arti materi, yaitu sebagai pengambilan unsur-unsur utama dari suatu disiplin ilmu. Sebagai contoh, dari Ilmu Sejarah hanya diambil dua unsur utama, yaitu identitas keilmuan dan historiografi. Kompleksitas metodologi sejarah yang merupakan roh dari Ilmu Sejarah, karena kurang penting bagi siswa, tidak dipilih. Permasalahannya adalah makna penyederhanaan perlu diperjelas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan keraguan.
Permasalahan lain yang tidak kalah menarik adalah dari aspek epistemologis. Apabila dalam definisi yang diberikan oleh NCSS telah relatif spesifik, yaitu menanamkan dan mengembangkan civic comptences, di Indonesia justru dikaburkan dengan menggunakan istilah “untuk tujuan pendidikan”. Pengkaburan itu terjadi karena semua mata pelajaran, secara bersama-sama, dari aspek epistemologis diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Ketiadaan tujuan yang spesifik menjadikan evaluasi keberhasilan dan kegagalan IPS akan sulit dilakukan, karena akan selalu terkontaminasi dengan pengaruh atau hasil pembelajaran dari mata pelajaran-mata pelajaran lain.
Somantrie (2005: 4) menjelaskan bahwa IPS memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Have as a major purpose the promotion of civic competence – which is the knowledge, skills, and attitudes required of students in our democratic republic.
2. Integrate knowledge, skills, and attitudes within and across disciplines.
3. Help students construct a knowledge base and attitudes drawn from academic disciplines as specialized ways of viewing reality.
4. Reflect the changing nature of knowledge, fostering entirely new and highly integrated approaches to resolving issues of significance to humanity.
Dari penjelasan tersebut, terutama nomor 1, tampak bahwa IPS di Indonesia mengacu pada social studies di Amerika Serikat dan mengembalikan tujuan pada format semula, yaitu berfokus pada penanaman dan pengembangan civic competence.
Pengembalian pada formulasi asli, bukan berarti tanpa masalah. Permasalahannya adalah ketiadaan aspek pengembangan kepribadian dalam definisi IPS. Pengertian IPS di atas mungkin sangat cocok untuk kebudayaan Amerika Serikat, akan tetapi belum tentu tepat bagi Indonesia. Secara kultural berbagai etnis di Indonesia menekankan pentingnya kepribadian sebagai basis interaksi. Misalnya, etnis Jawa yang di Indonesia sebagai mayoritas, menekankan kehalusan budi dalam kebudayaannya. Setinggi apapun keterampilan atau kemampuan kewarganegaraan yang dimiliki seseorang, akan cenderung ditolak oleh masyarakat Jawa apabila manifestasinya dipandang tidak sesuai dengan kriteria kehalusan budi tersebut. (Tentang kepribadian akan dibahas lebih mendalam pada lain bab) Dari sudut pandang ini, bagi bangsa Indonesia, berbagai civic competences yang terdapat pada definisi IPS perlu dilandasi dengan kepribadian yang kokoh. Dengan demikian, perilaku kewarganegaraan tidak sekedar keterampilan atau kompetensi, tetapi dilandasi oleh kesadaran dan komitmen.
Pentingnya unsur kepribadian dalam pendidikan sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh bangsa Indonesia, tetapi juga sudah diakui pada tingkat internasional. Unesco mengeluarkan amanat tentang Pendidikan Abad 21 yang didalamnya memuat empat pilar pendidikan, yaitu how to know, how to do, how to be dan how to live together. Dari amanat Unesco tersebut, secara jelas diformulasikan bahwa pendidikan, termasuk di dalamnya IPS, tidak hanya bertanggungawab untuk mendidik anak tentang bagaimana memperoleh pengetahuan dan bagaimana mengerjakan sesuatu sesuai kaidah ilmu pengetahuan, tetapi lebih jauh juga bertanggungjawab untuk mengembangkan kepribadian anak dan bagaimana membangun kehidupan harmonis dengan masyarakat.
Krisis identitas keilmuan mengakibatkan metodologi yang dikembangkan mengalami berbagai distorsi dan penyimpangan. Penyimpangan dapat disimak dengan jelas pada tingkat praksis. Pada satuan pendidikan tingkat dasar, yaitu Sekolah Dasar (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), kegiatan dilakukan terpecah menjadi dua mata pelajaran, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan IPS. Pada satuan pendidikan tingkat menengah, yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA/MAN), pemecahan menjadi semakin banyak. Pada kelas X, IPS dipecah menjadi mata pelajaran PKn, Sejarah, Geografi, Ekonomi, dan Sosiologi. Pada kelas XI program IPS, mata pelajaran tetap seperti kelas X, tetapi untuk program IPA, terjadi pengurangan menjadi tersisa hanya PKn dan Sejarah.
Kompleksnya permasalahan yang menerpa IPS, menjadikan usaha untuk merealisasi tujuan bagaikan si pungguk merindukan bulan. Para siswa tumbuh, tidak hanya tanpa keterampilan kewarganegaraan (civic competence) yang memadai, tetapi bahkan mereka terperangkap menjadi generasi yang tidak memiliki identitas kebangsaan. Indonesia dipahami sekedar wilayah geografis tempat mereka lahir, tanpa makna dan ikatan emosional:
Ask young Indonesians today what makes them Indonesians, and the answer may likely surprise, or disappoint you.
"I'm Indonesian because I was born in Indonesia and I'm a citizen of Indonesia, I just have to live with that," Intan Nirwani, a 14-year-old high school student, said when she was asked about what it meant being an Indonesian.
Swastika, 24, an anchor at a TV station and also Javanese, gave a similar answer. "It's just a statistical status. I mean...you are Indonesian because your ID and your passport say so," Swastika stated.
It may be a false assumption to say that Intan and Swastika represent the general feeling of Indonesia's younger generation about their country, but their answers reflect a growing trend among the younger generation. They seem to have grown further away from the sense of being Indonesian that was still very much alive among the previous generations.
For many of today's young people, being Indonesian means nothing more than a "geographical fact" -- because they were born and raised in the country. Nothing more, nothing less. (Jakarta Post, 16 Agustus 2003)

ABSTRAK : DETERMINAN SIKAP KERJA DAN KINERJA DOSEN (Suatu Studi pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Sekota Bandung)

Masalah yang menjadi kajian penelitian ini adalah mengenai sikap kerja dan kinerja dosen. Fokus kajiannya adalah faktor-faktor yang mempengaruhi sikap kerja dan kinerja dosen yang meliputi kepemimpinan pimpinan perguruan tingi (PT), motivasi dosen, dan budaya organisasi PT. Berdasarkan hal tersebut, tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kepemimpinan, motivasi, dan budaya organisasi mempengaruhi sikap kerja dan kinerja dosen baik secara parsial maupun simultan.
Metode penelitian yang digunakan adalah Explanatory Survey Method, dengan teknik pengumpulan data menggunakan daftar pernyataan yang disusun berdasarkan Five Option Scale terhadap 44 orang dosen tetap Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) di Kota Bandung sebagai responden. Teknik pengolahan data yang digunakan adalah Model Analisis Jalur (Path Analysis).
Hasil penelitian berdasarkan uji statistik menunjukkan: (1) Kepemimpinan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap sikap kerja dosen. (2) Budaya organisasi secara parsial tidak berpengaruh terhadap sikap kerja dosen. (3) Motivasi secara parsial tidak berpengaruh terhadap sikap kerja dosen. (4) Kepemimpinan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja dosen. (5) Budaya organisasi secara parsial tidak berpengaruh terhadap kinerja dosen. (6) Motivasi dosen secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja dosen. (7) Sikap kerja dosen secara parsial tidak berpengaruh terhadap kinerja dosen. (8) Kepemimpinan, budaya organisasi dan motivasi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap sikap kerja dosen. (9) Kepemimpinan, budaya organisasi, motivasi dan sikap kerja secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja dosen.
Berdasarkan temuan tersebut, rekomendasi yang dapat disampaikan: (1) pimpinan PT harus mampu membangun dan mengembangkan suasana yang memungkinkan terciptanya komunikasi timbal balik dengan dosen, (2) pimpinan PT harus mampu merancang berbagai kegiatan yang terprogram dengan baik, memberikan dukungan dan program masa depan yang jelas, (3) pimpinan PT dapat memberikan dukungan dan kesempatan kepada dosen memegang jabatan atau tugas tertentu, memberikan kepercayaan penuh dalam menjalankan tugas tersebut serta menyelesaikan permasalahan yang menyertainya, (4) memberikan imbalan finansil yang layak, dan jenjang karir yang jelas kepada dosen, (5) meningkatkan kemampuan dosen dalam pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat.

IA KURNIA

Pribados

My photo
Bandung, Jawa Barat
Ingin belajar kepada siapapun, kapanpun, dimanapun

Count Daftar Pengunjung