Oleh: H. Purwanta, Mahasiswa S3 UPI Bandung
Permasalahan identitas IPS di Indonesia sangat rumit. Istilah social studies memperoleh makna yang beragam, seperti ilmu pengetahuan sosial, pendidikan ilmu pengetahuan sosial, pendidikan sosial, studi sosial, dan ilmu sosial dasar. Bahkan, meski hanya dalam jangka waktu yang relatif pendek, social studies pernah diterjemahkan ke dalam kurikulum nasional menjadi ilmu sosial pada tahun 2001. (G. Moedjanto pada Kompas 26 Mei 2003) Keberagaman yang berpangkal pada pemaknaan tekstual kata “studies” sebagai kajian, ilmu dan pendidikan tersebut menjadikan krisis identitas IPS di Indonesia menjadi semakin dalam.
Perbedaan pemaknaan mengakibatkan terjadinya perbedaan pandangan terhadap identitas IPS di Indonesia. Hasan (1996:8) menjelaskan bahwa IPS sebagai Pendidikan Ilmu Sosial. Oleh karena itu, pengertian IPS adalah pendidikan mengenai disiplin ilmu-ilmu sosial. Selanjutnya dia menguraikan bahwa definisi tersebut berlaku penuh pada pendidikan ilmu-ilmu sosial di perguruan tinggi. Pendidikan ilmu sosial di persekolahan memiliki perbedaan tujuan untuk masing-masing satuan pendidikan, sehingga berpengaruh pada luas ruang lingkup (scope) yang harus dipelajari, kedalaman materi untuk setiap pokok bahasan terpilih, dan pemilihan dasar-dasar keilmuan penting bagi pendidikan lanjutan di perguruan tinggi. (Hasan, 1996: 8-14)
Berbeda dengan Hasan, Somantri (2001:74) menggunakan istilah Pendidikan IPS. Dia menempatkan identitas IPS sebagai suatu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, ideologi negara dan disiplin ilmu lainnya serta masalah-masalah sosial terkait, yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Sealur dengan Somantri, Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia (HISPIPSI) memilih menggunakan istilah Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dengan singkatan PIPS sebagai pengindonesiaan social studies. HISPIPSI memberikan definisi PIPS sebagai berikut: “PIPS merupakan penyerderhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang diorganisasi dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”. (A. Muchtar, 2004:15)
Dari dua perspektif yang dikutip terakhir, tampak bahwa ada kesepahaman tentang istilah PIPS sebagai terjemahan dari social studies. Selain itu, keduanya memandang identitas IPS atau PIPS dengan menggunakan istilah penyederhanaan disiplin ilmu non kependidikan, Somantri menyatakan semua cabang ilmu pengetahuan, sedang HISPIPSI membatasi pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kesamaan juga terdapat pada penjelasan tentang epistemologi IPS, yaitu untuk tujuan pendidikan.
Meskipun telah terjadi pengerucutan tentang identitas IPS, tetapi tetap saja belum menjelaskannya secara terang dan membedakan (clear and distinc). Istilah penyederhanaan ilmu-ilmu non kependidikan yang digunakan untuk menjelaskan identitas IPS, masih terlalu umum atau kurang spesifik. Paling tidak ada dua kemungkinan makna penyederhanaan, yaitu kompetensi atau materi. Pada satu sisi, penyederhanaan dalam arti kompetensi dapat dimaknai sebagai usaha adaptasi kompleksitas ilmu pengetahuan terhadap usia siswa. Penyesuaian dapat dilakukan baik dalam pengertian perkembangan kognitif (Piaget), moral (Kholberg) maupun sosial. Akan tetapi penyederhanaan juga dapat dimaknai dalam arti materi, yaitu sebagai pengambilan unsur-unsur utama dari suatu disiplin ilmu. Sebagai contoh, dari Ilmu Sejarah hanya diambil dua unsur utama, yaitu identitas keilmuan dan historiografi. Kompleksitas metodologi sejarah yang merupakan roh dari Ilmu Sejarah, karena kurang penting bagi siswa, tidak dipilih. Permasalahannya adalah makna penyederhanaan perlu diperjelas, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan keraguan.
Permasalahan lain yang tidak kalah menarik adalah dari aspek epistemologis. Apabila dalam definisi yang diberikan oleh NCSS telah relatif spesifik, yaitu menanamkan dan mengembangkan civic comptences, di Indonesia justru dikaburkan dengan menggunakan istilah “untuk tujuan pendidikan”. Pengkaburan itu terjadi karena semua mata pelajaran, secara bersama-sama, dari aspek epistemologis diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Ketiadaan tujuan yang spesifik menjadikan evaluasi keberhasilan dan kegagalan IPS akan sulit dilakukan, karena akan selalu terkontaminasi dengan pengaruh atau hasil pembelajaran dari mata pelajaran-mata pelajaran lain.
Somantrie (2005: 4) menjelaskan bahwa IPS memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Have as a major purpose the promotion of civic competence – which is the knowledge, skills, and attitudes required of students in our democratic republic.
2. Integrate knowledge, skills, and attitudes within and across disciplines.
3. Help students construct a knowledge base and attitudes drawn from academic disciplines as specialized ways of viewing reality.
4. Reflect the changing nature of knowledge, fostering entirely new and highly integrated approaches to resolving issues of significance to humanity.
Dari penjelasan tersebut, terutama nomor 1, tampak bahwa IPS di Indonesia mengacu pada social studies di Amerika Serikat dan mengembalikan tujuan pada format semula, yaitu berfokus pada penanaman dan pengembangan civic competence.
Pengembalian pada formulasi asli, bukan berarti tanpa masalah. Permasalahannya adalah ketiadaan aspek pengembangan kepribadian dalam definisi IPS. Pengertian IPS di atas mungkin sangat cocok untuk kebudayaan Amerika Serikat, akan tetapi belum tentu tepat bagi Indonesia. Secara kultural berbagai etnis di Indonesia menekankan pentingnya kepribadian sebagai basis interaksi. Misalnya, etnis Jawa yang di Indonesia sebagai mayoritas, menekankan kehalusan budi dalam kebudayaannya. Setinggi apapun keterampilan atau kemampuan kewarganegaraan yang dimiliki seseorang, akan cenderung ditolak oleh masyarakat Jawa apabila manifestasinya dipandang tidak sesuai dengan kriteria kehalusan budi tersebut. (Tentang kepribadian akan dibahas lebih mendalam pada lain bab) Dari sudut pandang ini, bagi bangsa Indonesia, berbagai civic competences yang terdapat pada definisi IPS perlu dilandasi dengan kepribadian yang kokoh. Dengan demikian, perilaku kewarganegaraan tidak sekedar keterampilan atau kompetensi, tetapi dilandasi oleh kesadaran dan komitmen.
Pentingnya unsur kepribadian dalam pendidikan sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh bangsa Indonesia, tetapi juga sudah diakui pada tingkat internasional. Unesco mengeluarkan amanat tentang Pendidikan Abad 21 yang didalamnya memuat empat pilar pendidikan, yaitu how to know, how to do, how to be dan how to live together. Dari amanat Unesco tersebut, secara jelas diformulasikan bahwa pendidikan, termasuk di dalamnya IPS, tidak hanya bertanggungawab untuk mendidik anak tentang bagaimana memperoleh pengetahuan dan bagaimana mengerjakan sesuatu sesuai kaidah ilmu pengetahuan, tetapi lebih jauh juga bertanggungjawab untuk mengembangkan kepribadian anak dan bagaimana membangun kehidupan harmonis dengan masyarakat.
Krisis identitas keilmuan mengakibatkan metodologi yang dikembangkan mengalami berbagai distorsi dan penyimpangan. Penyimpangan dapat disimak dengan jelas pada tingkat praksis. Pada satuan pendidikan tingkat dasar, yaitu Sekolah Dasar (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), kegiatan dilakukan terpecah menjadi dua mata pelajaran, yaitu Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan IPS. Pada satuan pendidikan tingkat menengah, yaitu Sekolah Menengah Atas (SMA/MAN), pemecahan menjadi semakin banyak. Pada kelas X, IPS dipecah menjadi mata pelajaran PKn, Sejarah, Geografi, Ekonomi, dan Sosiologi. Pada kelas XI program IPS, mata pelajaran tetap seperti kelas X, tetapi untuk program IPA, terjadi pengurangan menjadi tersisa hanya PKn dan Sejarah.
Kompleksnya permasalahan yang menerpa IPS, menjadikan usaha untuk merealisasi tujuan bagaikan si pungguk merindukan bulan. Para siswa tumbuh, tidak hanya tanpa keterampilan kewarganegaraan (civic competence) yang memadai, tetapi bahkan mereka terperangkap menjadi generasi yang tidak memiliki identitas kebangsaan. Indonesia dipahami sekedar wilayah geografis tempat mereka lahir, tanpa makna dan ikatan emosional:
Ask young Indonesians today what makes them Indonesians, and the answer may likely surprise, or disappoint you.
"I'm Indonesian because I was born in Indonesia and I'm a citizen of Indonesia, I just have to live with that," Intan Nirwani, a 14-year-old high school student, said when she was asked about what it meant being an Indonesian.
Swastika, 24, an anchor at a TV station and also Javanese, gave a similar answer. "It's just a statistical status. I mean...you are Indonesian because your ID and your passport say so," Swastika stated.
It may be a false assumption to say that Intan and Swastika represent the general feeling of Indonesia's younger generation about their country, but their answers reflect a growing trend among the younger generation. They seem to have grown further away from the sense of being Indonesian that was still very much alive among the previous generations.
For many of today's young people, being Indonesian means nothing more than a "geographical fact" -- because they were born and raised in the country. Nothing more, nothing less. (Jakarta Post, 16 Agustus 2003)
1 comment:
Setuju prof, lebih menukik
Post a Comment